Selasa, 26 Juli 2011

Meningkatkan Minat Belajar Bahasa Sunda, Pikiran Rakyat, 26 Juli 2011

oleh : Ajeng Kania

Kongres Bahasa Sunda (KBS) IX/2011 di Bogor menghasilkan sejumlah rekomendasi dikemas dalam ”Panggeuing Cipayung”. Intinya, upaya mengembangkan agar bahasa, sastra dan aksara Sunda tetap lestari.


Banyak bahasa daerah di Nusantara berada diambang kepunahan. Tanda-tanda itu semakin kasatmata di mana penuturnya cukup sempit, mendiami daerah tertentu dan terbatas generasi tua saja. Begitupun dialami bahasa Sunda, yang jika tanpa upaya memelihara dan pengembangan bakal bernasib serupa.



Muatan lokal (mulok) bahasa Sunda di sekolah sebagai satu-satunya mata pelajaran berkaitan erat dengan eksistensi budaya lokal (khususnya bahasa Sunda) kini mengalami gejala penurunan minat. Padahal bahasa Sunda merupakan simbol identitas budaya daerah sebagai manifestasi kebhinekaan bangsa Indonesia turut memperkaya kebudayaan nasional.

Agar diminati, menurut penulis ada beberapa ikhtiar, yakni: Pertama, menghindarkan kesan pembelajaran bahasa Sunda sulit dan rumit. Berdasarkan pengalaman penulis, materi tidak lagi didominasi teori bahasa, tetapi diimbangi praktik berbahasa. Di awal pelajaran, peserta didik diberi kesempatan menikmati berbahasa Sunda bertegur sapa dengan kawan, orang tua dan guru dengan nuansa keakraban; atau simulasi komunikasi lain seperti: memperkenalkan diri, membuka suatu kegiatan, biantara (pidato), atau riungan (diskusi) dengan tema ditetapkan.

Selanjutnya guru mengulasnya, sehingga peserta didik memahami dan mahir menerapkan kosakata sejenis sekalipun, seperti kata: mios, angkat, indit, miang; atau neda, tuang, dahar, emam, nyatu sesuai undak-usuk basa (tata krama berbahasa. Kecakapan aspek verbal tersebut semakin fasih bila dibiasakan. Sebaliknya, ketidakcakapan ini menyebabkan peserta didik cenderung menggunakan bahasa Sunda kasar.

Kedua, ada pola pemikiran bahwa mulok bahasa Sunda kurang penting ditandai minimnya alokasi waktu diberikan. Mulok bahasa Sunda di Sekolah Dasar harus berbagi waktu dengan mulok lainnya seperti: PLH, Pramuka, Pencak Silat, dan Bahasa Inggris. Menurut hemat penulis, mulok Pramuka dan Pencak Silat dapat diarahkan menjadi bidang ekstrakurikuler tersendiri.

Sementara penempatan bahasa Inggris sebagai mulok mengundang pertanyaan, karena bahasa Inggris bukanlah pelajaran bermuatan budaya setempat sebagai esensi pemaknaan muatan lokal, bukan? Reposisi ini dimaksudkan agar alokasi waktu mulok bahasa Sunda bertambah dan guru leluasa menyajikan materi lebih kreatif dan menarik.

Ketiga, evaluasi mulok bahasa Sunda cenderung bertumpu pada aspek kognitif semata. Mulok bahasa Sunda sarat ajaran dan nilai-nilai luhur dalam membentuk generasi berbudaya dan berkarakter. Aspek kesantunan dalam bertutur, menghormati lebih tua, keramahan maupun perilaku luhur sehari-hari mesti menjadi pertimbangan evaluasi. Mulok ini sangat strategis mencetak lulusan cageur, bageur, bener, pinter, wanter, dan singer sebagai upaya membangun karakter luhur bangsa.

Keempat, membangun atmosfer berbahasa Sunda. Di luar anjuran hari Rabu, berbahasa Sunda dapat menjadi komunikasi ragam bahasa informal di luar jam sekolah. Namun, guru dapat menyisipkan kosakata bahasa daerah dalam PBM untuk memberi variasi, meluweskan komunikasi, atau menjelaskan hal abstrak sulit padanannya. Bahasa Sunda dapat digunakan pengantar di kelas rendah yang mayoritas peserta didiknya menggunakannya sebagai bahasa ibu (mother-tongue) dan tentu saat PBM mulok bahasa Sunda.****

Penulis, guru kelas/bahasa Sunda
SD Negeri Cibiru 5 Kota Bandung