Sabtu, 01 Mei 2010

MENCETAK LULUSAN BERJIWA ”ENTREPRENEUR”, Pikiran Rakyat, Rabu, 21 Nopember 2007

oleh : Ajeng Kania

Orientasi siswa dan mahasiswa kita setelah lulus berlomba-lomba untuk menjadi ”pegawai”. Secara budaya, status ”pegawai” apapun jabatan yang disandangnya cenderung lebih mendapat pengakuan masyarakat.

Tak heran, setiap kali ada penerimaan CPNS seperti sekarang ini selalu disambut antusias sarjana kita. Sementara, para pencari kerja rela berdesak-desakan dan antri membeli tiket di Bursa Tenaga Kerja sekadar mencari informasi lowongan kerja ditawarkan perusahaan swasta. Mereka berjuang sekuat tenaga, tak heran beberapa orang menempuh ”jalan pintas” demi memperoleh status ”pegawai”, padahal di antara mereka ada memiliki usaha tergolong berhasil.

Itu tak lain karena budaya priyayi masih begitu kental menempatkan sosok pegawai sebagai pekerjaan terpandang. Tak heran entah guru, teman lama, atau calon mertua pasti akan bertanya soal pekerjaan ”bekerja di mana?”.

Melihat fenomena ini, esais terkenal, Jakob Sumardjo dalam sebuah artikelnya menyebut bahwa Indonesia memang negara pegawai. Ia memberikan sebuah perbandingan, mereka yang membuka usaha sendiri di rumah, meskipun sukses besar, cenderung menganggap dirinya ”tidak bekerja”. Untuk menutupi harga dirinya, ketika ditanya pekerjaan, umumnya berlindung dibalik profesi ”wiraswasta”, sebuah eufimisme untuk menutup nasib ”malang”-nya karena bukan seorang pegawai.

Padahal, usaha kecil yang ditopang jiwa entrepreneur (wirausaha) terbukti cukup tangguh menyangga ekonomi negeri ini dari kehancuran di saat krisis moneter. Mengingat fungsi strategisnya bagi ketahanan ekonomi nasional, upaya menanamkan jiwa entrepreneur sejak dini sangatlah penting untuk menciptakan generasi mandiri yang tangguh. Mentalitas entrepreneur menurut Bambang Suharno dalam buku best seller-nya ”Langkah Jitu Memulai Bisnis dari Nol” memiliki dua ciri, yaitu :
(a) jika mengeluarkan orang, sebagian uang yang keluar bisa kembali. Berbeda dengan orang bermental karyawan, ia akan membelanjakan uangnya untuk sesuatu yang tidak kembali;
(b) jika mengerjakan sesuatu, segera mencari penggantinya.

Artinya, seorang entrepeneur tak akan asyik berkutat pada pekerjaan teknis, ia segera mendelegasikan kepada orang kepercayaannya dan ia segera mencari peluang usaha baru.

Sayangnya, budaya pendidikan di Indonesia kurang mendukung pengembangan jiwa kewirausahaan sehingga menghambat pelajar untuk mengembangkan daya kreativitasnya. Kasubdindikmen Dikdik Jabar, Syarif Hidayat, Drs. M.Pd, (PR, 6/11) mengakui bahwa pengenalan keterampilan seperti entrepreneurship sangat diperlukan, namun perlu peran dari sekolahnya sendiri, karena kurikulum tidak melengkapi sekolah untuk memberikan pengenalan mengenai kewirausahaan atau kompetensi lain di luar pelajaran resmi.

Pihak sekolah diharapkan dapat menjembatani minat wirausaha siswa dengan membuat komunitas atau menghidupkan koperasi sekolah sebagai sarana melatih jiwa wirausaha siswa. Sebuah cara efektif membangkitkan minat wirausaha siswa direncanakan untuk mengundang entrepreneur sukses berbagi (sharring) pengalaman atau sebaliknya, siswa melakukan kunjungan ke lokasi industri rumah tangga yang berhasil. Pihak sekolah bisa juga memfasilitasi seperti menggelar acara bazar dalam rangka menyambut hari tertentu. Tujuannya memberi ruang untuk produk kreatif siswa seperti: kue-kue, makanan, kerajinan tangan, hasta-karya, dsb sekaligus tolok-ukur respons konsumen.

Pendidikan jiwa wirausaha di sekolah tidak selalu identik dengan berbisnis, namun lebih ditekankan dapat membentuk sikap seperti: pribadi mandiri, memiliki kecakapan hidup (life skill) dan melatih kepemimpinan (leadership) siswa di masa depan. Mandiri, siswa mendayagunakan potensi diri dan kreativitasnya untuk ”menghasilkan” minimal mencukupi kebutuhan dirinya sendiri. Siswa pun cakap mengelola keuangan berkaitan hal-hal produktif, termasuk menjadi konsumen yang ”pintar” tidak gampang terbujuk rayu iklan-iklan. Satu hal lagi mencetak seorang entrepreneur, bukan saja pemilik sekaligus direktur (pemimpin usaha).

Dengan jiwa entrepreneur, seorang sarjana tak harus selalu menunggu pengumuman CPNS atau lowongan perusahaan untuk memulai kiprahnya. Seorang entrepreneur akan memanfaatkan otak kreatifnya sebagai modal utama untuk memulai usaha. Memulai bisnis tak harus dengan modal besar. Seorang entrepreneur akan mengubah paradigma ”lulus mencari kerja” menjadi ”lulus mencipta kerja”.

Penulis, guru SDN Taruna Karya 4 Kota Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar