Senin, 29 Desember 2008

Mencermati Perilaku Konsumtif Siswa, Pikiran Rakyat/ 5 Juni 200


Oleh AJENG KANIA

Perilaku konsumtif dewasa ini menjadi bagian kehidupan masyarakat. Pusat perbelanjaan yang tumbuh pesat menawarkan berbagai fasilitas lengkap, nyaman, dan serba praktis memanjakan masyarakat, termasuk para pelajar.

Menjumpai kalangan siswa di mal-mal sekarang ini bukanlah masalah sulit. Mal kini bukan sekadar tujuan orang berbelanja, namun sarat dengan arena fasilitas hiburan, bahkan menjadi sarana alternatif pengisi waktu luang di kalangan siswa untuk sekadar “cuci mata”, nongkrong dan ngerumpi. Suguhan yang ditawarkan di mal berupa mode fashion, aneka kuliner, aksesori, dan berbagai hiburan cukup menggoda hati setiap pengunjung.

Situasi dan kondisi tersebut membawa pengaruh konsumtif bagi siswa selaku pengunjung. Siswa cenderung digiring menghabiskan uang sakunya untuk melampiaskan keinginannya. Rasa gengsi dan demi penampilan di hadapan rekan-rekannya, membuat mereka terbiasa saling mentraktir, mengadakan pesta ulang tahun atau hura-hura di mal atau kafe. Agar tampak lebih gaul, gaya hidup siswa pun banyak mengadopsi model-model iklan atau pemain sinetron yang sedang tren, seperti model fashion, aksesori, telefon seluler, tato, tindik, dsb.

Perilaku konsumtif seperti itu sangat rentan bagi siswa terlibat hal-hal negatif. Secara logika, perilaku konsumtif tanpa didukung dana memadai (baca: pendapatan orang tua) membuat siswa berusaha berbagai cara untuk memenuhi hasratnya. Siswa tak segan masuk terlibat perbuatan kriminal seperti memalak, menipu dan mencuri. Sementara beberapa remaja putri, rela menyerahkan diri berbuat asusila demi materi untuk keperluan konsumtif dirinya. Gaya hidup seperti itu cukup dekat mengantarkan siswa kepada geng pecandu narkoba.

Bagi orang tua, perilaku konsumtif anaknya harus dibayar mahal. Orang tua tidak hanya berhadapan dengan keperluan sekolah, namun harus mengeluarkan biaya “ekstra” lainnya. Celakanya, orang tua yang secara ekonomi pas-pasan, dipaksa mementingkan pulsa handphone ketimbang membeli beras atau minyak tanah demi harga “pergaulan” sang anak.

Esais, Jakob Sumardjo, mengatakan gaya berpikir dan perilaku orang konsumtif ibarat benalu, suka mengisap daya hidup orang lain. Mereka cenderung bersifat boros, tidak bisa berhemat, dan kerjanya suka menghabiskan melulu. Hal tersebut bertolak belakang dengan karakter manusia produktif yang suka berhemat, pekerja keras, dan menghasilkan sesuatu.

Beberapa alternatif penulis coba ajukan untuk mereduksi perilaku konsumtif di kalangan siswa. Pertama, membiasakan budaya menabung (saving). Sejak usia TK/SD siswa dibiasakan rajin menabung dari sisa uang jajannya. Ingat, dalam hal ini bukan orang tua yang sengaja menabung atas nama anaknya. Tujuannya agar siswa dapat menghargai betapa susahnya berjuang mengumpulkan uang sedikit demi sedikit sehingga ia berpikir ulang ketika akan menggunakan uang tersebut.

Kedua, menanamkan kemandirian sebagai upaya membentuk perilaku produktif. Hal tersebut bisa ditempuh dengan mengembangkan potensi aktual diri, minat, bakat, dan kreativitas. Keterampilan (skills) ini dapat menggugah siswa berpikir konstruktif dan produktif minimal berguna bgi dirinya sendiri.

Ketiga, mengisi waktu luang dengan kegiatan positif, seperti mengikut kegiatan ekstrakurikuler pramuka, olah raga, atau seni. Biasakan anak aktif membaca, dan kursus, sehingga siswa tak banyak bergaul dengan hal-hal negatif. Keempat, memberi pemahaman agar siswa bersifat selektif, sehingga bisa membedakan mana kebutuhan urgen atau biasa, barang bermanfaat atau mubazir, memilih teman baik-jelek, dsb. Kelima, adanya tata tertib yang tegas dan kontrol dari guru dan orang tua, sehingga siswa tidak sesuka hati dalam bertindak (tetap dalam norma).

Kerja keras orang produktif akan mengandalkan potensi diri, tahan uji, ulet, mampu berkreasi dan inovasi, serta mampu mencipta sesuatu untuk orang lain sehingga dapat tercipta generasi tangguh dan mandiri. Sebaliknya siswa berperilaku konsumtif akan menghasilkan generasi yang mempunyai tabiat selalu menuntut dan meminta, bermental ketergantungan, royal, malas bekerja, dan mudah sekali tersinggung. ***

Penulis, guru kelas SDN Taruna Karya 04 Kecamatan Cibiru Bandung, pengurus Asosiasi Guru Penulis (AGP) 2007-2008 Jawa Barat.

Sumber:

Jumat, 26 Desember 2008

Optimalisasi Program Penjaskes di Sekolah, Pikiran Rakyat, 31 Januari 2008



Oleh
AJENG KANIA

Orang baru menyadari bahwa kesehatan sangat penting manakala jatuh sakit. Oleh karena itu, penerapan perilaku hidup bersih dan sehat harus menjadi tabiat sehari-hari.

Konsep kesehatan menurut WHO adalah konsep kesehatan secara paripurna meliputi urusan "sehat" secara fisik, tetapi juga secara sosial dan spiritual. Sementara itu, UU Kesehatan No. 23/1992 menyebutkan, kesehatan adalah kesejahteraan dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Dewasa ini, gejala hipokinetik (kurang gerak) yang menghantui anak-anak di Indonesia bakal berdampak buruk bagi kualitas kesehatan bangsa di masa depan. Gaya hidup (life style) yang cenderung menyita banyak waktu dan bersifat pasif menjadi preseden buruk terhadap kesehatan anak. Seperti, anak-anak makin asyik bermain game komputer atau PlayStation dan relatif statis diam berjam-jam. Begitupun fenomena remaja duduk mengutak-atik telefon seluler menjadi hal lumrah dijumpai. Padahal, anak mestinya pada usia muda seperti itu harus mengeksplorasi lingkungan sesuai fitrah mereka untuk bermain dan bergerak.

Peningkatan ekonomi pada keluarga membawa dampak lebih suka makanan berkalori dan lemak tinggi, tetapi rendah serat, seperti beberapa makanan fast food. Celakanya, makanan yang komposisi gizinya tidak seimbang dan berasimilasi dengan hipokinetik akan berefek negatif menimbulkan kegemukan (obesitas). Obesitas menurut Susi Purwati, dkk. (2001: 24) dalam buku Perencanaan Menu untuk Penderita Kegemukan bukan saja memengaruhi penampilan atau fisik seseorang, namun berpotensi memicu bahaya laten bagi kesehatan, yaitu munculnya beberapa penyakit degeneratif, seperti hipertensi, jantung koroner, kencing manis, kanker, artritis dan gout, hiperkoleterolemia dan hipertrigliseridemia, serta batu empedu.

Pelajaran pendidikan jasmani, olah raga dan kesehatan (penjaskes) di sekolah yang erat kaitannya dengan seputar kesehatan jasmani kalah populer dibanding bidang eksakta dan sosial yang lebih menjanjikan masa depan. Stigma negatif bidang penjaskes dipicu oleh kurang keseriusan siswa mengikuti pembelajaran, rendahnya mutu hasil pembelajaran, serta profil tenaga pengajar belum memadai.

Pada beberapa sekolah, terutama sekolah dasar, masih kesulitan mendapatkan guru penjaskes sesuai kualifikasi dan kompetensinya. Akibatnya, pembelajaran penjaskes seringkali dilaksanakan seadanya dan monoton, cukup dengan sebuah bola sepak atau bola voli untuk menghabiskan alokasi waktu yang disediakan.

Optimalisasi program penjaskes di sekolah harus dilakukan dengan sepenuh hati sehingga mata pelajaran ini dapat menjadi bidang studi "elite dan disegani". Pada teori kecerdasan berganda (multiple intelligence), Gadner menempatkan pelajaran penjaskes sangat penting dalam mengembangkan kecerdasan kinestetik (aktivitas gerak tubuh). Mengenai sumbangan bidang penjaskes, Gabbar et. al dalam U.Z. Mikdar, 2001) menyebutkan bahwa kontribusi aktivitas jasmani dalam perkembangan anak, yakni domain kognitif (memberi kemampuan dan penguatan akademik) psikomotor (memengaruhi pertumbuhan biologis, kebugaran jasmani, skill, kesehatan, efisiensi gerak); dan efektif (pembentukan konsep diri, sosialisasi, sikap).

Sementara itu, paradigma promotif (kampanye kesehatan) dan preventif (pencegahan penyakit) harus lebih disosialkan karena memerlukan biaya cukup murah dan terbukti mujarab daripada paradigma kuratif (pengobatan) yang selama ini melekat pada bidang kesehatan dengan menyedot dana cukup besar.***


Penulis, mantan guru penjaskes, kini guru kelas di SDN Taruna Karya 04 Kec. Cibiru Bandung.

Membangun Prestasi Melalui Kompetisi, Pikiran Rakyat , 23 Agustus 2006)


oleh: Ajeng Kania

Prestasi yang diraih para pelajar yang tergabung dalam Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) di Singapura beberapa waktu lalu, merupakan berita sejuk di tengah pelbagai permasalahan yang mendera dunia pendidikan kita.

JONATHAN Pradana Mailoa dan kawan-kawan, mampu bersaing ketat dalam kompetisi tingkat dunia dan berhasil mengukir prestasi dengan menyabet gelar juara umum di atas negara-negara maju. Mereka juga meraih gelar The Absolute Winner (nilai tertinggi ujian teori dan eksperimen) atas nama Jonathan.

Prestasi yang dicapai tim TOFI 2006 itu, diharapkan dapat merangsang dan memotivasi pelajar kita di seluruh tanah air. Jonathan c.s. tidak serta-merta lolos begitu saja ke ajang bergengsi itu, melainkan lewat kompetisi (seleksi) ketat dan pembinaan terarah,hingga mampu menuai prestasi yang mengharumkan bangsa ini.

Prestasi tersebut sebenarnya bisa dirintis tak jauh dari anak didik kita. Peran guru
sebagai manajer pengajaran bisa menerapkan kegiatan belajar-mengajar sehari-hari yang bisa merangsang motivasi siswa. Pendekatan dan model pembelajaran bernuansa kompetisi, bisa kita bangun mulai dari hal-hal sepele hingga bersifat resmi.

Sebagai contoh, (1) Beberapa menit menjelang bubaran sekolah, guru bisa memberi
beberapa soal, siswa yang menjawab soal dengan benar cepat berhak keluar lebih awal;(2) Siswa yang lebih dulu memahami materi mendapat kehormatan bisa membantu guru menerangkan pada siswa lainnya; (3) Pujian atau penghargaan yang bisa memacu motivasi siswa, dan lain-lain. Guru bisa mengorganisasikan kelas dengan membuat kelompok belajar siswa (study-group). Kelompok ini sebagai sarana interaksi,diskusi, dan belajar bersama. Siswa yang kurang paham bisa bertanya dan mendiskusikan lebih dahulu sesama intern kelompoknya sebelum kepada guru. Sementara, guru bisa menerapkan situasi di mana siswa lebih bebas mengeluarkan ide, pendapat, dan pengetahuannya. Motivasi dan soliditas kelompok akan membawa siswa lebih dinamis dan proaktif.

Sistem peringkat (ranking) dalam buku rapor merupakan hasil kompetisi siswa selama satu semester. Siswa dapat mengetahui posisi prestasinya dibandingkan prestasi
siswa lainnya. Hal ini akan menciptakan kompetisi lebih ketat bagi siswa pada semester berikutnya. Mereka mempunyai dua pilihan, peringkatnya naik atau turun. Sekolah yang mempuyai kelas paralel bisa dicoba menerapkan sistem kelas unggulan ; yang diisi siswa peringkat atas dari kelas-kelas lainnya. Kelastersebut sengaja dibentuk dengan mengharapkan beberapa keuntungan, (1) ekstern, bersaing dengan sekolah lain meraih prestasi tertinggi (gengsi sekolah); juga (2) intern, kelas tersebut juga mempunyai gengsi di mata siswa-siswa sekolah tersebut. Korelasi positif dari sistem tersebut akan mampu memompa minat dan motivasi siswa di sekolah agar bisa direkrut ke kelas tersebut. Ada baiknya sistem promosi dan degradasi layaknya liga sepak bola barangkali bisa diterapkan untuk rekrutmen siswa kelas tersebut setiap semester.

Kesimpulannya, siswa kelas unggulan maupun normal dituntut belajar ekstra giat, tekun, dan ulet untuk meraih atau bertahan di kelas tersebut. Soalnya, terlempar dari kelas berarti dia harus belajar lebih giat lagi. Kompetisi bersifat resmi bisa dijumpai pada ajang lomba cerdas-cermat, pemilihan siswa teladan, lomba membaca, menulis, dan berhitung (calistung), pekan olah raga pelajar, dan lain-lain. Setiap lomba di tingkat lokal, daerah hingga tingkat nasional akan mampu melahirkan siswa-siswa berpotensi dan berbakat yang muncul dari berbagai pelosok negeri ini.

Mereka dituntut tak cuma sekadar pandai menghafal atau kekuatan otot, namun mempunyai daya nalar (analisis), stabilitas emosi, maupun mental yang prima sebagai pemenang kompetisi. Tentunya, kompetisi akan sukses sesuai harapan bila seleksi dilakukan secara adil, fair, dan objektif. Subjektivitas penilaian dan perilaku tidak terpuji hanya akan menodai lomba (event) khususnya, menghasilkan citra negatif dunia pendidikan pada umumnya. (**)

Penulis, guru SDN Taruna Karya 4 Cibiru Kota Bandung