Rabu, 01 Juli 2009

Bijak Saat Menerima Buku Rapor, Pikiran Rakyat, 26 Juni 2009


Oleh Ajeng Kania

Buku rapor sebagai laporan prestasi belajar siswa tak lama lagi bakal dibagikan. Kisah inspiratif terkait buku rapor dapat ditimba dari sosok Agum Gumelar. "Angka rapor saya semua merah, kecuali nilai olah raga delapan," katanya mengenang saat duduk di bangku SD, seperti dikutip "Nuansa" (2003: 78).

Bagi saya kisah tsb amat inspiratif, bagaimana seorang Agum mampu mengevaluasi sekaligus memaknai di saat prestasi menurun dengan tidak patah semangat. Angka merah, kegagalan, bahkan kejadian pahit tinggal kelas sejatinya bukan akhir segalanya. Usaha dan kerja keraslah bakal berbuah kesuksesan. Melalui kecintaan dalam aktivitas olah raga dan mengelola bakatnya telah membawanya sukses.

Selain sukses di militer, beliau pun pernah menjadi menteri dan menempati sejumlah pucuk pemimpin berkaitan minatnya seperti Ketua Umum PSSI dan KONI Pusat.

Akan tetapi, masih banyak masyarakat yang terbelenggu dalam stigma bahwa siswa yang nilai akademik terutama nilai matematika atau sainsnya rendah dianggap bodoh dan pertanda bakal gagal. Predikat tersebut dapat mematikan cita-cita tinggi anak dan meredupkan talenta yang dimilikinya.

Dengan stigma tersebut akan merugikan masa depan anak dan menjadi penyumbang tingginya angka putus sekolah (drop out). Padahal, anak putus sekolah mudah terseret ke dalam pergaulan buruk, yang akan menambah masalah sosial.

Menurut Ahwan S. Kalpen (1997), penurunan prestasi belajar siswa pada hakikatnya disebabkan oleh aspek psikologis dan fisiologis.

Dari sudut psikologis, selain IQ, juga harus diperhatikan kondisi keluarga, lingkungan tempat tinggal, pergaulan, dan lingkungan sekolah. Sementara aspek fisiologis berkaitan erat dengan faktor kesehatan anak, gizi, gangguan penglihatan atau pendengaran.

Bila dicermati, sikap ambisius orang tua meletakkan target tinggi seperti harus selalu juara kelas dapat berdampak anak frustrasi. Penjejalan kepada anak dengan berbagai les membuat kontraproduktif sehingga anak merasa tertekan dan tersiksa. Kalaupun berprestasi baik, tetapi perkembangan psikososial terganggu, karena anak kehilangan hak sesuai fitrahnya untuk bermain, bergaul, dan ceria.

Lingkungan keluarga tidak harmonis, kurang terbuka, dan terlalu sibuk pun menyumbang kegagalan anak berprestasi. Begitu pun lingkungan sekolah, seperti guru kejam dan galak, metode pembelajaran menjemukan dan permusuhan dengan teman dapat menjadi akar masalah prestasinya jeblok.

Dalam menerima buku rapor, orang tua hendaknya tidak terpaku pada perolehan skor angka mata pelajaran, tetapi perlu diperhatikan pula kolom catatan kepribadian anak meliputi sikap, kerajinan, angka kehadiran, kebersihan, dan kerapihan. Di samping itu, buku rapor pun dilengkapi catatan pengembangan diri siswa tentang perkembangan bakat dan minat siswa. Orang tua harus cermat melihat kolom saran yang dicatatkan guru sebagai masukan bagi anak untuk berprestasi lebih baik.

Kolom pengembangan diri sangat penting bagi pengembangan bakat dan talenta siswa. Para siswa dapat memanfaatkan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah untuk berlatih, mengasah, dan mengaktualisasikan bakat yang dimilikinya sehingga berkembang secara optimal. Bukan hal mustahil, bakat dan talenta yang dimiliki merupakan investasi untuk meraih sukses melebihi seorang juara kelas sekalipun.

Kalau kita perhatikan, Chris John (petinju), Ananda Mikola (pembalap), dan Zaenal Arif (pesepak bola) adalah contoh orang-orang yang memanfaatkan bakatnya pada tempat pas sehingga sukses dan eksis.

Itulah sebabnya mengapa setiap pembagian rapor, orang tua/wali siswa selalu diundang. Orang tua seyogianya merespons positif momen berharga ini untuk menjalin komunikasi positif dengan guru menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan kondisi anaknya di sekolah. Manfaat kehadiran orang tua di sekolah dapat membangkitkan moril sekaligus wujud penghargaan terhadap siswa yang berbeda ketika rapor diambil hanya oleh sopir atau pembantu.

Buku rapor adalah laporan hasil prestasi siswa setahun di sekolah. Ketika anak gagal meraih prestasi memuaskan, hendaknya disikapi dengan empati, bukan cacian atau makian. Sebaliknya, berikan apresiasi setiap anak menunjukkan prestasi. Bijaklah! ***

Penulis, guru SDN Taruna Karya 4 Kec. Cibiru, Bandung.