Jumat, 20 Maret 2009

MEMPERJUANGKAN MARTABAT GURU MELALUI ORGANISASI PROFESI, Pikiran Rakyat, 22 Nopember 2008

oleh: Ajeng Kania

Mutu pendidikan, kualitas dan kesejahteraan guru tidak pernah berubah jika masyarakat dan guru itu sendiri tidak memperjuangkannya.
(Dr. Sulistiyo, M.Pd – Ketua Umum PB-PGRI)

Pekerjaan guru sebelum Perang Dunia II adalah pekerjaan tertinggi untuk orang Indonesia, mulia, pandai, kaya, dan terhormat. Dengan gajinya, guru saat itu mampu memiliki pembantu, rumah bagus, dan bisa bepergian di musim liburan. Satu kisah kesaksian seorang guru baheula di Semarang saat diwawancarai seorang antrolopog, Walter Williams (1988) dalam buku Pendidikan Manusia Indonesia, (2004: 169).


Konsentrasi pembangunan lebih bertumpu kepada bidang ekonomi semata, membuat kita lengah memprioritaskan bidang pendidikan, terutama membangun aspek manusia. Dalam konteks ini, penghargaan masyarakat terhadap seseorang pun berubah. Mereka bergelimang materi cenderung dihormati dan dihargai. Pada kondisi ini, predikat guru tak ubahnya layaknya karyawan pabrik atau orang bayaran dibayar karena mengajar siswa. Kecilnya penghasilan guru dapat dibandingkan, perhitungan satu jam ekuivalen dengan empat kali (jam) pertemuan (satu bulan). Citra guru sedemikian melorot, menjadikan profesi guru tidak menarik minat anak-anak muda.

Mengapa profesi guru tertinggal dibanding profesi lain? Padahal jumlah guru di Indonesia cukup besar mencapai sekitar 2,7 juta. Akan tetapi, jumlah besar tidak serta-merta memiliki kekuatan-tawar menguntungkan dalam memperjuangkan profesi, kesejahteraan, perlindungan hukum dan karier guru. Salah satu faktor penyebabnya adalah militansi guru dalam mengkritisi dan memperjuangkan nasibnya masih lemah. Kesadaran berserikat (berorganisasi) rendah berdampak profesi ini mudah dipengaruhi, ditekan, atau dijadikan obyek kepentingan tertentu.

Hal ini tentu berbeda bila guru bersatu padu, solid, dan memiliki solidaritas tinggi sehingga memiliki organisasi profesi yang kuat, berwibawa dan profesional. Organisasi kuat dapat dijadikan sebagai pressure-power (kekuatan-menekan), thinking-power (kekuatan- pemikiran) dan control-power (kekuatan-pengendalian) sehingga memiliki posisi tawar (bargaining-position) diperhitungkan. Sesuai UU Guru dan Dosen (UUGD) kehadiran organisasi profesi mutlak diperlukan sesuai dengan amanat pasal 41 (3). Organisasi ini dibutuhkan guru untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat. Bergabungnya guru dalam organisasi profesi memungkinkan guru memiliki kode etik guru sebagai standar perilaku ideal untuk memberi perlindungan dalam mewujudkan profesionalitas dan bekerja dalam suasana aman dan kondusif.

Meskipun sukses membidani kelahiran UUGD, PGRI sebagai organisasi guru terbesar dan tertua di Indonesia tak luput dari ragam tantangan. Jalan mewujudkan guru profesional, sejahtera dan bermartabat baru menginjak tahap awal. Problematika akibat minimnya penghasilan guru selama bertahun-tahun masih menjadi potret kelam kehidupan guru hingga kini. Banyak guru belum memiliki rumah tinggal layak; kesulitan memiliki sarana penunjang tugas, seperti: kendaraan, buku, komputer/laptop; tidak memiliki waktu luang untuk belajar, studi, dan pontang-panting ketika harus menyekolahkan anak-anaknya.

Kiranya perlu terobosan berbasis pelayanan untuk membebaskan sekaligus mendekatkan organisasi dengan anggota. Citra dan martabat guru tak bisa lepas dari performa kehidupan di tengah masyarakat. PGRI dapat mendorong dan memfasilitasi dengan cara membuat format dan skema tertentu dengan pihak pengembang sehingga memungkinkan guru-guru mudah mendapatkan hunian layak.Begitupun kerjasama dengan dealer dapat meringankan kepemilikan kendaraan minimal sepeda motor untuk menjangkau tempat tugas jauh dan terpencil. Sementara pendidikan anak-anak guru dijamin dengan pola asuransi semacam Askes.

Seluruh program dapat berjalan lancar jika PGRI didukung penuh guru-guru selaku anggotanya. Karena ”Sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS: 13: 11). Dengan menggunting simpul bermasalah, bukan saja membebaskan namun memberi secercah harapan bagi guru menikmati kehidupan lebih bermartabat.

Dirgahayu PGRI! Selamat Ulang Tahun Guru Indonesia! (**)

Penulis:
Guru SDN Taruna Karya 04 Kec. Cibiru
Kota Bandung
Pengurus AGP-PGRI Propinsi Jawa Barat

“POIN PLUS” SISWA ANGGOTA PRAMUKA, Pikiran Rakyat, Bandung, 13 Oktober 2006

Oleh : Ajeng Kania

Bila siswa yang hanya aktif belajar sehari-hari di sekolah, kita beri nilai dengan angka 1, maka nilai siswa yang mengikuti kegiatan Pramuka adalah 1+ (baca: satu plus). Poin plus ini merupakan nilai tambah yang didapat dalam kegiatan kepramukaan yang berguna kelak, yang sebagian tidak didapat dalam materi di kelas.





Karena kegiatan kepramukaan merupakan kegiatan pendidikan luar sekolah dan luar keluarga, siswa berlatih membagi waktu antara kegiatan sekolah, acara keluarga, dan kegiatan Pramuka yang biasanya diadakan di akhir pekan. Siswa belajar menghargai waktu dengan membuat jadwal (schedule) kegiatan, untuk mengatur waktu sehingga efektif tidak tumpang tindih.

Secara tak disadari, anggota pramuka memiliki tambahan poin yaitu belajar mengelola kelompoknya (berorganisasi) dengan membentuk pimpinan regu, petugas piket (korve), dan anggotanya. Komunikasi, interaksi dan kerjasama intern dan ekstern kelompok akan melahirkan kebersamaan (jiwa korsa) dan motivasi untuk menyelesaikan tugas secara bersama. Dengan pembagian tugas ini akan melatih bakat kepemimpinan, kearifan, dan toleransi siswa. Dari berbagai ujian kecakapan, tantangan dan tugas-tugas yang diberikan, akan mengembangkan kematangan emosi siswa tersebut dalam mengambil setiap keputusan dengan penuh pertimbangan dan pengkajian.

Wawasan dan pergaulan anggota pramuka sangatlah luas. Kegiatan pramuka tidak cuma lingkup tingkat pangkalan atau gugus depan, melainkan bersifat universal, terdapat di tingkat nasional dan internasional. Juga anggotanya diikuti semua lapisan masyarakat tanpa membedakan golongan, ras, suku atau agama. Begitu pun, materi yang dipelajari mencakup materi umum ataupun spesifik digeluti ekstra-kurikuler (eskul) lain, seperti baris berbaris (eskul Paskibra), hiking, navigasi, dan mountenering (eskul Pencinta alam), P3K (eskul PMR), Kesakaan, Sejarah perjuangan bangsa, dan lain sebagainya. Inilah jelas membuat anggota Pramuka memiliki keistimewaan, berkaitan dengan penguasaan kemampuan dan kemahiran lapangan dalam bidang P3K, Evakuasi, PBB, Organisasi, Kesakaan, Survival-Navigasi Darat, Mountaineering, Tali-Temali (Simpul), juga Pengabdian Masyarakat berupa penyuluhan, bakti sosial atau penanggulangan korban bencana alam.

Kegiatan kepramukaan bukanlah semata-mata acara hura-hura belaka, tapi mempunyai tujuan dan manfaat tertentu. Kegiatan orientasi Kepramukaan di sekolah menengah misalnya, sebagai upaya memperkenalkan Pramuka lebih dekat sebagai salah satu wadah Kepemudaan yang keberadaannya diatur langsung oleh Kepres No. 238/1961 serta tertuang dalam GBHN. Begitu pun Jambore (pesta perkemahan pramuka tingkat penggalang) digelar periodik mempunyai manfaat strategis memperkuat ikatan persaudaraan dan persatuan di antara bangsa Indonesia sekaligus memupuk rasa cinta tanah air.

Penghargaan (apresiasi) yang diberikan masyarakat kepada anggota pramuka cukup tinggi. Masyarakat memandang anggota pramuka sebagai sosok pemberani, disiplin, cekatan, dan memiliki sifat-sifat kepedulian terhadap sesama hidup dan lingkungan. Diharapkan melalui kepramukaan dapat mencegah terjadinya pelbagai hal negatif menimpa kaum muda bangsa ini seperti: narkoba, kriminalitas, aborsi, dan lain-lain.

Poin plus lainnya, di mana pun berada, pramuka selalu periang (senang). Keceriaan usia masa siaga, penggalang dan penegak merepresentasikan sebuah semangat yang kuat dan motivasi dari anak-anak bangsa yang ‘siap mental’ untuk belajar sungguh-sungguh tanpa harus menanggung segala beban pikiran, dan tentunya tak terbelenggu dalam sebuah kesusahan lagi. Kenapa? Karena dalam bait salah satu The Song of Scout (lagu "wajib" pramuka) berbunyi: “Buat apa susah......susah itu tak ada gunanya ...” Begitu pun kata mutiara dari Bapak Kepanduan Dunia, “Tuhan menciptakan kita dalam dunia indah ini untuk hidup bergembira dan bahagia” (Lord Baden Powell). Semoga dengan poin plus tersebut, membentuk generasi yang berkepribadian, bertakwa, dan berbudi pekerti, cerdas, trampil, kuat dan sehat yang sangat dinantikan demi kemajuan bangsa ini.

Penulis, Guru SDN Taruna Karya 4,
Kec. Cibiru, - Kota Bandung 40615