Minggu, 12 Desember 2010

Mengasah Kecerdasan Finansial Sejak Usia Dini, Pikiran Rakyat, 1 November 2008


Banyak kejadian merugikan akibat seseorang tidak bisa mengelola keuangan dengan baik. Bahkan tidak sedikit yang berakhir di jeruji besi melakukan tindak kriminal, karena tergoda mencuri, merampok atau korupsi.

Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidaki diinginkan tersebut, seseorang perlu memiliki kecerdasan dinansial atau seni mengelola keuangan. Kecakapan mengelola keuangan bersifat pribadi tidak tumbuh begitu saja. Diperlukan latihan dan edukasi kontinyu sehingga menjadi gaya hidup (life style) seseorang.

Tidak sedikit akademisi yang semula dikenal ebsrih (clean), tatkala berkecimpung di organasasi publik banyak tersandung gara-gara keuangan.

Edukasi pengelolaan keuangan sangat penting bagi siapapun di tengah era konsumerisme. Arus globalisasi telah menggiring nafsu belanja membuat orang sukar berpikir jernih tatkala memegang uang.

Hal ini dilirik para perusahaan untuk berlomba menciptakan strategi produkdi dan pemasaran guna menggaet hati konsumen untuk menguras isi dompetnya. Bentuk iklan-iklan, rpomosi dan diskon besar-besaran seolah menghipnotis masyarakat untuk bersaing dalam gaya hidup dan konsumsi.

Budaya belanja pun mewabah ke dalam berbagai strata umur mulai balita, remaja, ibu-ibu hingga para lansia. Budaya menabung (saving) sebagai simbol kearifan, semakin tergilas oleh budaya leasing (kredit) dalam merealisasikan hasrat dan keinginannya. Celakanya budaya konsumtif tidak lagi didasari logika kebutuhan (need), tetapi lofika hasrat (desire) dan keinginan (want) serta gengsi dan kepuasaan seketika.

Oleh karena itu kecerdasan FQ (financial quotient) merupakan kecakapan mengelola keuangan secara cerdas, bijaksana dan terencana sangat penting dimiliki seseorang. Kecerdasan ini dapat diasah sejak usia dini. Anak-anak dibiasakan sejak belia merencanakan memenuhi keinginannya dengan cara mempertimbangan skala prioritas terhadapa suatu produk berdasarkan aspek kegunaan atau urgensinya (mendesak atau tidak).

Kecerdasan ini akan menjadi benteng untuk tidak hanyut dan panik saat kelebihan atau kekurangan uang sehingga senantiasa jernih dan matang ketika berperilaku. Edukasi ini pula bukan sekedar urusan angka bersifat matematik, melainkan lebih pada pembentukan watak, mental, dan pengalaman sehingga menjadi gaya hidup dan etos kerja sehari-hari.

Menurut hemat penulis, ada lima aspek utama dalam edukasi ini, yakni:
1. Pemahaman cara mendapatkan uang. Aspek ini membekali pemahaman bahwa uang diperoleh mesti dengan cara alal, bukan hasil mencuri atau merugikan orang lain.

2. Cara membelanjakan uang. Aspek ini berguna membekali anak menjadi konsumen pintar dan selektif. Anak pandai meerencanakan dan memprioritaskan kebutuhan mendesak atau bisa diganti atau ditunda sesuai dengan anggaran.

3. Cara berhemat. Aspek ini menekankan perlunya menabung di sekolah atau di bank. dengan memiliki tabungan, apa pun bentuknya, pasti akan memberi manfaat dalam menghadapi hambatan dalam rangka meraih cita-cita.

4. Menjaga amanah. Aspek ini berkenaan dengan kecerdasan spiritual, tentang moral berisi kejujuran, keeprcayaan dan transparansi.

5. Pemahaman tentang hak uang. Aspek ini bertalian dengan kecerdasan sosial anak sehingga dengan uangbisa berbagi, bersedekah atau membantu sesama umat.

Melalui pembiasaan dan disiplin sejak usia dini merupakan bekal menuntun anak agar lebih arif dalam memaknai kehirupan (**)

Penulis, Ajeng Kania
Guru SDN Taruna Karya 4, Kec. Cibiru Kota Bandung