Selasa, 14 Desember 2010

Makna dan Pesan Moral Api Unggun, Pikiran Rakyat, 20 April 2007


Suasana rekreatif menjadi ciri khas kegiatan kepramukaan selama ini. Kegiatan kepramukaan di alam terbuka sangat relevan dengan upaya penegmbangan kecerdasan kinestesis (gerak tubuh) dan spasial (keruangan) terkait peningkatan mutu pendidikan formal.

Suasana rileks dan riang gembira merupakan bagian dari pendekatan pembelajaran nilai dan sikap dalam membentuk karakter dan kepribadian siswa seutuhnya. Acara bersifat rekreatif bermanfaat dalam mengembalikan kesegaran siswa dari kepenatan aktivitas belajar sehari-hari.

Api unggun mengandung makna dan pesan moral yang luas. Acara ini memiliki aura sakral, wibawa, dan penuh rasa khidmat terkait acara pelantikan anggota baru pramuka. Kegiatan api unggun pun menjadi momen yang menyenangkan ditunggu para anggota pramuka. Sesuai tradisi, api unggun sebagai mata acara penutup kegiatan perkemahan menampilkan berbagai suguhan hiburan bersifat atraktif, kreatif dan rekreatif. Semua dengan membentuk lingkaran bisa dengan santai melepas lelah setelah mengikuti serangkaian materi.

Acara ini dikemas sebagai ajang kreasi siswa menampilkan atraksi ketangkasan, pentas seni, dan aneka kreasi lainnya. Setiap regu yang tampil berusaha memuaskan penonton dengan suguhan atraksi memikat. Sebaliknya apresiasi diberikan peserta dengan sambungan hangat disertai aplaus tepuk tangan. Tentu saja bagi yang tampil, mampu memberi spirit, kebanggaan, dan rasa percaya diri. Acara api unggun pun dapat dijadikan arena memperluas persaudaraan dan memperkokoh tali persahabatan sehingga mengeliminasi perilaku kekerasan seperti perkelahian dan tawuran antarsiswa.

Esensi acara api unggun dalam kegiatan kepramukaan bukanlah sekedar acara begadang atau hura-hura layaknya acara camping ala remaja sekarang. Di bawah kendali instruktur atau pembina pramuka, acara api unggun senantiasa mengedepankan norma dan etika. Bbeberapa pedoman pelaksanaan api unggun mengharuskan semua yang terlibat (1) menjaga ketertiban dan sopan santun; (2) menghindari ucapan kotor dan negatif; (3) tidak merusak lingkungan; (4) menciptakan kesan terbaik bagi peserta; (5) jangan lupa mematikan api dan membersihkan sampah di sekitar lokasi.

Dalam memilih lokasi kegiatan api unggun direkomendasikan dilaksanakan di tanah lapang (rata) bernuansa alam terbuka jauh dari pemukiman penduduk, dan sangat baik dilakukan di malam cerah dengan langit berbintang. Api unggun pun dirasakan manfaatnya langsung oleh peserta, seperti menghangatkan badan, menerangi kegelapan, dan dapat mengusir binatang buas.

Secara fisik, api unggun hanyalah sejumlah ranting disusun berunggun-unggun (bertumpuk) kemudian dibakar. Bentuknya bisa menyerupai piramida, segitiga, bujur sangkar atau pagoda tegak. Penataan ruang sedemikian rupa, maksudnya untuk memberi ruang bagi udara (Oksigen) agar kayu dapat terbakar sempurna. Setiap regu secara rawe-rawe lantas, malang-malang putung (bergotong royong) mengumpulkan ranting-ranting dan potongan kayu kering sebagai bahan baku membuat api unggun.

Kondisi realitas sekarang, di mana guru banyak disibukkan oleh kegiatan kurikuler dalam proses kegiatan belajar-mengajar sehingga kegiatan kepramukaan lebih banyak ditangani kakak-kakak (senior) dan Ambalan/Racana di wilayah sekitarnya. Padahal, segala perhatian tersebut bukan cuma tugas guru selaku pembina pramuka, guru lain pun diharapkan turut memberi dukungan dengan sesekali mendampingi kegiatan siswa seperti pada saat kegiatan api unggun ini.

Banyak manfaat didapat, bukan saja acara nostalgia dan romantisme terhadap kegiatan serupa tempo dulu, namun diharapkan melahirkan daya juang lebih fresh seperti ditunjukkan oleh nyala lidah api unggun berkobar-kobar. Begitu sarat makna dan pesan moral terkandung dalam acara api unggun tersebut. Begitu pun keheningan malam, beningnya bulir-bulir embun dan kerlap kerlip bintang di langit terbuka dibungkus kehangatan api unggun dapat menjadi sumber inspirasi sekaligus penyegaran dari monotonitas, kesumpekan dan kepenatan sehari-hari. ****

Penulis, guru SDN Taruna Karya 4 Kec. Cibiru, Kota Bandung

Minggu, 12 Desember 2010

Mengasah Kecerdasan Finansial Sejak Usia Dini, Pikiran Rakyat, 1 November 2008


Banyak kejadian merugikan akibat seseorang tidak bisa mengelola keuangan dengan baik. Bahkan tidak sedikit yang berakhir di jeruji besi melakukan tindak kriminal, karena tergoda mencuri, merampok atau korupsi.

Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidaki diinginkan tersebut, seseorang perlu memiliki kecerdasan dinansial atau seni mengelola keuangan. Kecakapan mengelola keuangan bersifat pribadi tidak tumbuh begitu saja. Diperlukan latihan dan edukasi kontinyu sehingga menjadi gaya hidup (life style) seseorang.

Tidak sedikit akademisi yang semula dikenal ebsrih (clean), tatkala berkecimpung di organasasi publik banyak tersandung gara-gara keuangan.

Edukasi pengelolaan keuangan sangat penting bagi siapapun di tengah era konsumerisme. Arus globalisasi telah menggiring nafsu belanja membuat orang sukar berpikir jernih tatkala memegang uang.

Hal ini dilirik para perusahaan untuk berlomba menciptakan strategi produkdi dan pemasaran guna menggaet hati konsumen untuk menguras isi dompetnya. Bentuk iklan-iklan, rpomosi dan diskon besar-besaran seolah menghipnotis masyarakat untuk bersaing dalam gaya hidup dan konsumsi.

Budaya belanja pun mewabah ke dalam berbagai strata umur mulai balita, remaja, ibu-ibu hingga para lansia. Budaya menabung (saving) sebagai simbol kearifan, semakin tergilas oleh budaya leasing (kredit) dalam merealisasikan hasrat dan keinginannya. Celakanya budaya konsumtif tidak lagi didasari logika kebutuhan (need), tetapi lofika hasrat (desire) dan keinginan (want) serta gengsi dan kepuasaan seketika.

Oleh karena itu kecerdasan FQ (financial quotient) merupakan kecakapan mengelola keuangan secara cerdas, bijaksana dan terencana sangat penting dimiliki seseorang. Kecerdasan ini dapat diasah sejak usia dini. Anak-anak dibiasakan sejak belia merencanakan memenuhi keinginannya dengan cara mempertimbangan skala prioritas terhadapa suatu produk berdasarkan aspek kegunaan atau urgensinya (mendesak atau tidak).

Kecerdasan ini akan menjadi benteng untuk tidak hanyut dan panik saat kelebihan atau kekurangan uang sehingga senantiasa jernih dan matang ketika berperilaku. Edukasi ini pula bukan sekedar urusan angka bersifat matematik, melainkan lebih pada pembentukan watak, mental, dan pengalaman sehingga menjadi gaya hidup dan etos kerja sehari-hari.

Menurut hemat penulis, ada lima aspek utama dalam edukasi ini, yakni:
1. Pemahaman cara mendapatkan uang. Aspek ini membekali pemahaman bahwa uang diperoleh mesti dengan cara alal, bukan hasil mencuri atau merugikan orang lain.

2. Cara membelanjakan uang. Aspek ini berguna membekali anak menjadi konsumen pintar dan selektif. Anak pandai meerencanakan dan memprioritaskan kebutuhan mendesak atau bisa diganti atau ditunda sesuai dengan anggaran.

3. Cara berhemat. Aspek ini menekankan perlunya menabung di sekolah atau di bank. dengan memiliki tabungan, apa pun bentuknya, pasti akan memberi manfaat dalam menghadapi hambatan dalam rangka meraih cita-cita.

4. Menjaga amanah. Aspek ini berkenaan dengan kecerdasan spiritual, tentang moral berisi kejujuran, keeprcayaan dan transparansi.

5. Pemahaman tentang hak uang. Aspek ini bertalian dengan kecerdasan sosial anak sehingga dengan uangbisa berbagi, bersedekah atau membantu sesama umat.

Melalui pembiasaan dan disiplin sejak usia dini merupakan bekal menuntun anak agar lebih arif dalam memaknai kehirupan (**)

Penulis, Ajeng Kania
Guru SDN Taruna Karya 4, Kec. Cibiru Kota Bandung

Senin, 30 Agustus 2010

Ramadan Spirit Membangun Generasi Qurani, Pikiran Rakyat, Sabtu, 28 Agustus 2010


Oleh: Ajeng Kania


Pada bulan Ramadan, setiap umat Muslim dianjurkan untuk memperbanyak ibadah. Salah satunya dengan membaca ayat-ayat suci Alquran karena setiap ibadahnya umat Muslim pada bulan Ramadan akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah SWT.


Alquran satu-satunya bacaan di dunia yang tiap hurufnya memberikan pahala apabila dibaca. Rasulullah saw. bersabda, "Siapa yang membaca satu huruf dari Kitab Allah (Alquran), ia akan mendapatkan satu kebaikan yang nilainya sama dengan 10 kali ganjaran (pahala). Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf." (H.R. Tirmidzi). Bila satu huruf dibalas dengan 10 pahala kebaikan, satu juz mendapat sekitar 105.000 pahala. Bila khatam selama bulan suci ini, kita akan mendapat 3.150.000 pahala kebaikan. Tentu saja ini balasan minimal dari Allah SWT. Dalam Alquran, disebutkan bahwa Allah SWT bakal membalas setiap amal kebaikan tanpa batas sesuai dengan kehendak-Nya.

Akan tetapi, meskipun umat Muslim di Jawa Barat mencapai 94 persen dari 41 juta populasi penduduknya, 50 persennya belum bisa membaca Alquran karena buta huruf Arab ("PR", 17/1). Yang memprihatinkan, bila buta huruf latin dialami mayoritas usia tua 50 tahun ke atas, buta huruf Alquran tersebar di semua tingkat usia, mulai usia produktif hingga lanjut usia.

Anak-anak usia sekolah dewasa ini menghadapi ujian hidup semakin berat. Fenomena globalisasi dengan perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi menyebabkan nilai-nilai akhlak tidak menjadi prioritas bagi manusia modern. Sebaliknya, sikap individualistik, pergaulan bebas, pemakaian narkotika, budaya konsumerisme, serta hedonisme merasuki berbagai lini kehidupan dan mudah diadopsi menjadi gaya hidup (life style) remaja. Pada akhirnya, menjauhkan remaja Muslim dari tata nilai yang terkandung dalam Alquran.

Padahal, Alquran dan sunah merupakan pedoman yang membuat umat Islam tidak bakal tersesat selama berpegang teguh pada keduanya. Upaya nyata membangun generasi qurani amat urgen dalam menyiapkan generasi muslim memiliki karakter dan jati diri, yakni membentuk generasi cerdas, berakhlakul karimah, teguh iman, dan membumikan Alquran serta sunah sebagai nafas dan ruh dalam berperilaku sehari-hari.


Keberhasilan membangun generasi qurani, setidaknya ditentukan oleh enam unsur. Pertama, pribadi anak sendiri. Kedua, peran orang tua menjadi kunci dalam partisipasi dan memotivasi anak. Merupakan tantangan tersendiri di mana ada kecenderungan orang tua sekarang lebih tertarik mengikutkan anaknya pada kursus-kursus, sehingga anak cukup lelah saat harus mengikuti pendalaman Alquran.


Ketiga, pihak sekolah perlu memiliki semacam kemampuan dasar minimal (KDM) pendidikan Alquran-berupa kemampuan baca tulis dan menghafal Alquran- yang mesti dicapai siswa. Keempat, peran lembaga masjid di mana siswa tinggal diharapkan sebagai ujung tombak dalam membekali pendidikan Alquran. Masjid dapat dijadikan sebagai pusat pendidikan Alquran.

Kelima, Pemilihan metode tepat dan praktis sehingga pembelajar merasa mudah dan cepat menguasai bacaan Alquran secara tartil dan bertajwid. Keenam, peran pemerintah dalam membuat kebijakan seperti menerbitkan perda wajib diniah guna menjaring siswa Muslim mendapat pendidikan Alquran melalui jalur formal, informal, dan nonformal.

Berawal kebiasaan "membaca" Alquran akan memotivasi "mengetahui artinya" dan "memahaminya", serta pada gilirannya memacu spirit "mengamalkan" ayat menjadi pengamalan nyata.***

Penulis, Guru SDN Cibiru 5 Kota Bandung.

Sabtu, 01 Mei 2010

MENGEMBANGKAN BUDAYA RISET DI KALANGAN SISWA, Pikiran Rakyat,Rabu, 12 September 2007


oleh : Ajeng Kania

JANGAN marah dulu melihat anak suka iseng mengutak-atik atau membongkar-pasang mainannya. Dari kegemaran itu, Yusmar Purwoko (14) mampu menciptakan detektor tsunami. Berkat karyanya, ia terpilih menjadi duta Indonesia di ajang “International Exhibition for Young Inventor III” di India, awal 2007 lalu.

Pada akhir Agustus 2007 lalu, bertepatan 40 Tahun LIPI di Pusat Sains Cibinong, LIPI kembali menggelar Lomba Inovasi Teknologi Tepat Guna LIPI 2007. Tiga temuan siswa-siswi SMP meraih predikat juaranya. Momen ini sekaligus membukakan mata kita, betapa remaja kita memendam potensi dan bakat luar biasa turut memberikan andilnya bagi kepentingan masyarakat. Padahal, mereka berkreasi dengan barang-barang sederhana yang mudah didapat. Dengan bimbingan guru atau orang tua, daya kreatif dan imajinatif siswa mampu mengubah barang kurang memiliki nilai menjadi lebih berharga.

Azhar Wicaksana (pemenang kedua lomba tsb), siswa kelas VIII SMP 15 Yogyakarta mampu menampilkan karya “Alat Deteksi Getaran Gempa”. Ia menggunakan tiga bandul timah dengan gulungan kawat tembaga dengan ukuran kecil, sedang, dan besar. Ketika ada guncangan, bandul timah menyentuh gulungan tembaga, lalu menghubungkan arus listrik dan timbullah alarm gempa. Makin besar gempa, makin tinggi intensitas bunyi alarm. Menariknya, inspirasi itu ia dapatkan ketika seekor kucing saling berkejaran menyenggol kaleng dan menimbulkan suara.

Lain lagi dengan Rendi cs, anak MTs Negeri Subang meraih juara ketiga dengan karyanya membuat keripik dari limbah ikan etong. Mereka terinspirasi oleh fried chicken banyak dijual di tepi jalan. Kulit ikan etong yang keras dibersihkan kemudian direbus dahulu, lalu diberi bumbu dan digoreng, ternyata memiliki cita rasa renyah, dan gurih menggoda selera.

Sumber inspirasi mereka dapatkan dengan kepekaannya mencermati peristiwa sehari-hari. Dari permasalahan sederhana dalam bidang lingkungan saja, seperti sampah, limbah, sanitasi, kompos, daur ulang sampah, dsb dapat menjadi sumber inspirasi. Mengenai proses penemuan ini, Richard Suchman dalam Model Latihan Inkuiri (Inkuiri Thinking Model) menyatakan pentingnya membawa siswa pada sikap bahwa pengetahuan bersifat sementara (tentative). Dengan model ini, siswa diharapkan memiliki keterampilan dalam proses ilmiah, ditandai dengan kemampuan melakukan observasi, mengorganisasikan data, menyusun hipotesa hingga membuat kesimpulan.

Bangsa Indonesia patut bersyukur, kemampuan intelektual dan prestasi akademik siswa tak kalah dibanding siswa negara maju sekali pun. Mereka mampu berbicara di pentas olimpiade sains internasional (fisika, matematika, biologi, dsb). Terbukti setiap pentas mampu membawa pulang tradisi medalinya.

Berkaitan dengan minat dan bakat mereka tak perlu diragukan. Banyak ide-ide kreatif dan inovatif siswa dengan sedikit polesan dapat tercipta karya mengagumkan. Seyogyanya potensi yang dimiliki siswa dapat dikembangkan secara optimal sehingga kelak memiliki kecakapan hidup (life skill) yang sesuai minatnya. Teori kecerdasan berganda (multiple intellegences) yang diusung Howard Gadner dalam bukunya yang terkenal Frames of Mind memungkinkan pada diri seseorang memiliki potensi kecerdasan lebih dari satu untuk dikembangkan sehingga meraih sukses.

Guru dapat menjembatani minat riset siswa dengan mengintegrasikan ke dalam wadah ekskul di sekolah seperti: kelompok ilmiah remaja. Kegiatan riset tidak terbatas pada bidang sains saja, melainkan bidang seni, budaya, bahkan olah raga sekarang sudah berbasis riset. Dari kecintaan terhadap kegiatan riset sejak dini, dapat mencetak saintis-saintis muda produktif menghasilkan teknologi terapan (tepat guna) maupun konsep-konsep keilmuan. Tentunya pemerintah, perusahaan maupun lembaga penelitian harus merespons kebutuhan mereka sehingga kreativitas tidak mandeg terhambat minimnya dukungan dan perhatian, baik segi dana maupun sarananya.

Berkat riset para ahlinya, negara AS bukan saja memiliki ketahanan pangan kuat, namun menjadi negara industri terkemuka didukung kecanggihan teknologi. Begitu pun Jepang yang miskin sumber daya alam, kehandalan risetnya menempatkannya mampu merajai pasar otomotif dunia. Kita pun berharap, melalui kegiatan riset anak bangsa Indonesia mampu menampilkan adikarya fenomenal yang mampu mengangkat martabat dan kesejahteraan rakyatnya. Semoga! (**)


Penulis, Guru SDN Taruna Karya 04
Kecamatan Cibiru Bandung

LIBURAN KE MUSEUM, KENAPA TIDAK?, Pikiran Rakyat, Selasa, 3 Juli 2007

oleh : Ajeng Kania

“Mari kita ajak keluarga dan pelajar untuk mengunjungi museum. Museum tempat yang baik untuk mempelajari berbagai kearifan masa lalu, yang dapat menjadi inspirasi masa kini dan akan datang” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Demikian ajakan Presiden SBY saat meresmikan Gedung Arca di Museum Nasional, Jakarta (PR, 21/6). Ajakan itu didasari kenyataan bahwa dewasa ini, museum belum mampu menarik pengunjung terutama kalangan masyarakat luas. Sementara, pelajaran sejarah di sekolah yang erat kaitannya dengan lembaga museum juga mengalami penurunan minat.



Kondisi objektif pelajaran sejarah di sekolah banyak kendala. Menurut pakar sejarah, Prof. Dr. Hj. Ninna Lubis (PR, 20/2) selama ini, pelajaran sejarah masih terintegrasi pada mata pelajaran IPS dan PKn. Di sekolah menengah, pelajaran sejarah hanya didapat dua jam mata pelajaran seminggunya. Dalam kondisi ini, seringkali pelajaran sejarah terabaikan dan kurang mendapat perhatian siswa. Padahal, ilmu sejarah sangat baik untuk pembinaan mental dan pengetahuan tentang kehidupan berbangsa masa kini.

Di kalangan masyarakat, terdapat anggapan keliru bahwa lembaga ini khusus untuk pelajar atau kepentingan penelitian semata. Mungkin hal itulah, membuat masyarakat enggan (tidak ”percaya diri”) ketika memasuki pintu gedung museum. Pada akhirnya, museum hampir tak pernah menjadi daftar tujuan liburannya, apalagi menjadikannya suatu kebutuhan.

Sebenarnya, museum cukup terbuka untuk pengunjung, dan kini bisa dijadikan tujuan wisata alternatif keluarga sekaligus menimba pengetahuan tentang peradaban masa lampau. Museum bukan lagi sekedar ”gudang” benda-benda bersejarah yang terkesan kaku dan serius, melainkan wahana transformasi nilai-nilai warisan budaya bangsa antar generasi. Hal itu sangat penting dalam menjaga warisan budaya bangsa dari derasnya pengaruh negatif budaya asing.

Dengan adanya museum, pelajaran sejarah di sekolah tidak lagi bersifat abstrak atau fantasi belaka. Peninggalan berupa prasasti, arca, candi, kakawin, maupun benda masa lampau lainnya sebagai koleksi museum merefleksikan perjalanan sejarah peradaban umat manusia serta bukti tingginya karya dan kreasi bangsa kita yang sudah disegani sejak tempo dulu. Dari peninggalan benda-benda sejarah pula membuktikan bahwa di Nusantara ini pernah eksis kerajaan Sriwijaya sebagai salah satu pusat pendidikan terkenal di Asia. Juga Majapahit seperti dikisahkan Mpu Prapanca dalam kitab ”Negarakertagama” (ditulis 1365 M) menggambarkan keluhuran budaya Majapahit dengan cita rasa halus dalam seni, sastra, juga kemajuan dalam kehidupan masyarakatnya. Tak heran, Mpu Prapanca melukiskan Majapahit sebagai kerajaan maritim sebagai pusat Mandala raksasa yang membentang dari Sumatera hingga Papua Nugini. Begitu juga kebesaran kerajaan Pajajaran di Jawa Barat yang terkenal kisah heroiknya demi menjaga martabat dan kedaulatan daerahnya.

Koleksi-koleksi zaman perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan pun terdapat di museum. Di sana dapat tergambar keberanian, kegigihan, kerelaan dan semangat pantang menyerah yang dikobarkan pejuang dapat menjadi motivasi dan daya juang bagi kita dalam mengisi kemerdekaan yang telah ditebus dengan tetesan darah dan nyawa.

Bila kita cermati, biaya kunjungan ke museum tidaklah besar, bahkan beberapa museum tidak mengenakan tiket masuk. Untuk mengisi pekan-pekan menjelang liburan akhir tahun pelajaran, guru bisa memberikan pilihan alternatif wisata museum. Atau kalau pun tidak, orang tua bisa mengajak anaknya menikmati wisata sejarah pada saat liburan nanti. Kota Bandung termasuk sangat beruntung memiliki banyak museum. Masing-masing museum tsb memiliki keunikan (khas) tersendiri. Beberapa di antaranya: Museum Mandala Wangsit Siliwangi, Museum Sri Baduga, Museum Geologi, Museum Pos dan Giro, Museum KAA, dan lain-lain.

Kini museum tidak cuma memamerkan koleksi-koleksi tersimpan rapi dalam kaca. Pengelola museum cukup inovatif menyediakan sarana dan pra-sarana sehingga informasi bisa didapat secara maksimal. (**)


Guru kelas, SDN Taruna karya 04, Kecamatan Cibiru Bandung

KONTRIBUSI SISWA TERHADAP PRESTASI OLAHRAGA, Pikiran Rakyat, Kamis, 22 Februari 2007


Oleh: Ajeng Kania

Kondisi prestasi olahraga kita akhir-akhir ini menurun. Hasil Asian Games XV/Doha baru-baru ini menunjukkan, Indonesia hanya menduduki posisi ke-22 di bawah 5 negara Asia Tenggara lainnya.

Sinyal kegagalan tersebut terlihat di dua SEA Games terakhir, setelah begitu perkasa selama 20 tahun di kawasan ini melorot ke posisi tiga kemudian terperosok ke urutan lima. Masyarakat pun rindu kehadiran kembali Piala Thomas, Uber dan Sudirman ke tanah air. Dibenak kita muncul pertanyaan, kenapa dengan penduduk 220 juta jiwa, kita begitu kesulitan mencari atlet berprestasi?

Siswa-siswi di tiap jenjang sekolah, hakikatnya adalah “bahan baku” calon atlet. Dengan seleksi dan sistem pembinaan terarah, bukan tidak mustahil lahir atlet-atlet berprestasi skala nasional atau regional bahkan dunia dari lingkungan anak didik kita.

Pada prinsipnya pengembangan olahraga di masyarakat (termasuk sekolah) berpijak tiga orientasi, yaitu olahraga sebagai rekreasi; olahraga sebagai kesehatan; dan olahraga untuk prestasi. Sebagai rekreasi dan kesehatan, kita masih ingat semboyan di era tahun 1980-an “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat” mampu menggerakan masyarakat dengan aktivitas olahraga massal, murah dan meriah seperti: lari pagi (jogging), gerak jalan atau senam pagi. Krisis moneter yang mendera bangsa kita membuat slogan tsb meredup. Kesulitan ekonomi itu memaksa masyarakat kembali berjuang sekadar bertahan hidup dan melupakan olahraga. Sementara, kondisi obyektif pendidikan olahraga di sekolah sangat bergantung pada kebijakan sekolahnya dan banyak yang menganggap mata-pelajaran olahraga tidak penting.

Pelajaran olahraga di sekolah banyak menemui hambatan, seperti sarana dan pra-sarana beru-pa peralatan dan lapangan kurang memadai; lemahnya dukungan pihak sekolah; perubahan sikap dan gaya hidup glamour siswa menjadikan pelajaran olahraga sekadar formalitas belaka. Sebagai pembelajaran kurikuler di sekolah, target pembelajaran sebatas memenuhi tuntutan kurikulum semata sehingga kurang bisa diharapkan dari sisi perolehan prestasi.

Padahal pelajaran olahraga cukup penting sebagai bagian dari upaya peningkatan mutu pendidikan dikaitkan dengan konsep kecerdasan yang tidak lagi menitikberatkan pada kecerdasan rasional, misalnya konsep multiple-intelegence. Dalam konsep ini dikenal adanya aspek kecerdasan kinestik berkenaan dengan aktivitas olahraga. Pemahaman teori dan dasar-dasar keolahragaan cukup relevan dalam menjaga kebugaran dan kesehatan jasmani.

Untuk mencapai keunggulan dan prestasi maksimal, penggalian potensi dan minat siswa di sekolah-sekolah bisa menjadi alternatif rekrutmen atlet. Seleksi siswa bisa dilakukan lewat penjaringan ke tiap-tiap satuan pendidikan atau mengacu hasil prestasi dalam kejuaraan lokal seperti Porseni, Lomba Olahraga Tingkat SD, Pekan Olahraga Antar-Kelas, dsb.

Banyak siswa yang mempunyai potensi dan bakat luar biasa secara alamiah belum tersentuh pembinaan secara optimal. Keterbatasan akses informasi, biaya, dan perhatian sehingga potensi tersebut terkikis begitu saja oleh pertambahan usia Selama ini, siswa memanfaatkan unit ekstrakurikuler (eskul) sekolah secara terbatas tanpa tuntutan target tertentu, dan hanya sebagian kecil keluarga memprivatkan anaknya pada klub. Itu pun dari kalangan mampu secara ekonomi.

Padahal olahraga dapat memupuk sportivitas dan solidaritas dalam masyarakat. Olahraga mampu menyihir masyarakat melupakan sejenak segala pernik masalah atau konflik melanda dirinya. Olahraga dapat menyatukan dan menjadi simbol kebanggaan masyarakat. Untuk menuai prestasi olahraga tidak bisa secara instant, melainkan lewat kerja keras, disiplin, dan dukungan memadai berupa ketersediaan dana dan prasarana juga apresiasi masyarakat. Dengan pembinaan mulai level terendah, adanya persaingan dan pembinaan yang sehat, serta terciptanya iklim kondusif, kita bakal memiliki suplai atlet berprestasi secara berkesinambungan untuk mengembalikan reputasi dan martabat bangsa kita dipentas regional maupun internasional. (**)

Penulis, guru kelas dan mantan guru Penjaskes SDN Taruna Karya 4 Kec. Cibiru Kota Bandung, mantan atlet Tajimalela

MERINDUKAN TAYANGAN EDUKATIF BAGI SISWA, Pikiran Rakyat, Kamis (Kliwon), 22 Februari 2007

Oleh: Ajeng Kania

Sinetron ”Kiamat Sudah Dekat” (KSD) yang dibintangi Deddy Mizwar (sebagai Haji Romli) dan kawan-kawan seakan menjadi penawar kerinduan insan pendidikan di tengah minimnya tayangan sinetron televisi yang membawa pesan moral bagi pemirsanya.


Layar kaca, bagaimana pun, harus membawa pesan moral, sarat nilai edukatif, bersifat konstruktif, dan memberi nilai keteladanan bagi para pemirsa yang didalamnya adalah para siswa. KSD membuktikan, selain menampilkan hiburan juga penuh keteladanan sekaligus memberi pesan perlunya perjuangan meraih cita-cita.

Media televisi mempunyai fungsi sebagai sumber informasi, ilmu pengetahuan, dan sarana hiburan. melihat program televisi sekarang ini, terdapat beberapa tayangan yang membuat hati kita jadi miris. Bagi kalangan siswa, alih-alih mengambil nilai positif dan edukatif, mereka malah ikut hanyut terbawa arus mengikuti gaya hidup tokoh-tokoh sinetron yang cenderung mengekspos kekerasan, sensualitas dan sikap serba materi.

Tak dapat disangkal, tayangan kriminal membuat perut mual dengan suguhan gambar sosok mayat bersimbah darah, mutilasi, dendam, dan perampokan, menjadi santapan sehari-hari. Tren tema sinetron sekarang banyak berkutat pada eksploitasi bentuk kemewahan, perselingkuhan, perebutan harta warisan, dan menjual kehidupan dunia mimpi dalam memanjakan pemirsanya, namun memprihatinkan secara substansi dan nilai. Eksploitasi fenomena gaib dan takhayul pun kian marak, dikhawatirkan mengikis akidah. Semua mengharuskan siswa selektif memilih tayangan televisi.

Keprihatinan lainnya, tema-tema sinetron mengambil latar suasana di sekolah dengan peran siswa berseragam SMP/SMA atau peran guru, aspek yang ditonjolkan bukan unsur-unsur pendidikan seperti: suasana akademik, perjuangan meraih prestasi, motivasi belajar, atau figur keteladanan. Melainkan justru perilaku dan gaya kehidupan siswa ala selebriti yang dominan soal ngerumpi di kelas, ngegosip di kantin, hura-hura, atau pesta pora. Begitu pun adegan kurang santun, seperti sikap siswa menertawakan guru, tidak hormat, belajar penuh canda, seragam siswi yang ketat, rok mini, merokok atau pesta di ruang kelas, dapat memberi pengaruh negatif terhadap siswa-siswi selaku pemirsa di rumah.

Media Televisi secara efektif dapat memengaruhi pemirsanya hingga pelosok daerah. Begitu hebat pengaruhnya, barang-barang baru saja dipromosikan (launching) lewat televisi, selang berapa hari sudah dikonsumsi remaja di pelosok daerah sekali pun. Begitu juga tata susila, perilaku, model fashion, aksesori, dan gaya hidup yang diperankan tokoh secara cepat diadopsi kalangan siswa. Celakanya, tanpa informasi yang benar, siswa-siswi menjadi korban negatif tayangan itu, seperti pergaulan bebas, aborsi, hura-hura, dan pecandu narkoba.

Tayangan televisi mampu menembus batas-batas wilayah tanpa membedakan status, golongan dan usia. Sungguh ironis, murid-murid maupun anak pra-sekolah menjadi bagian pemirsa televisi dibiarkan melahap acara-acara bukan peruntukkannya. Padahal mereka terlalu lugu untuk membedakan baik-buruknya acara tersebut. Lebih parah lagi, sikap orang tua yang serba praktis, memercayakan sepenuhnya kepada acara televisi sebagai ”ibu asuh” agar anak tidak bermain jauh.

Sikap masa bodoh orang tua membahayakan anak, karena tayangan televisi sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak kelak. tentunya, perhatian dan sikap bijaksana orang tua dibutuhkan dalam mendampingi sekaligus menjelaskan perihal gambar-gambar di televisi yang belum dapat dicerna daya nalar anak.

Mata acara program televisi hendaknya tak sekadar mengerjar rating belaka. Pengelola stasiun televisi harus mempunyai tanggung jawab moral terhadap ekses-ekses negatif yang ditimbulkan akibat penayangan acara itu. Tayangan berkualitas rendah dibungkus pemanis pornografi dan derasnya pengaruh buruk budaya Barat dapat menggerus norma, kepribadian, dan idealisme kalangan siswa. Kemerosotan akhlak dan moral generasi penerus dapat menjadi potret buram wajah bangsa untuk menghancurkan identitas dan budaya bangsa. ***

Penulis,
guru kelas SDN Taruna Karya 04 Kec. Cibiru, Bandung
v

MENCETAK LULUSAN BERJIWA ”ENTREPRENEUR”, Pikiran Rakyat, Rabu, 21 Nopember 2007

oleh : Ajeng Kania

Orientasi siswa dan mahasiswa kita setelah lulus berlomba-lomba untuk menjadi ”pegawai”. Secara budaya, status ”pegawai” apapun jabatan yang disandangnya cenderung lebih mendapat pengakuan masyarakat.

Tak heran, setiap kali ada penerimaan CPNS seperti sekarang ini selalu disambut antusias sarjana kita. Sementara, para pencari kerja rela berdesak-desakan dan antri membeli tiket di Bursa Tenaga Kerja sekadar mencari informasi lowongan kerja ditawarkan perusahaan swasta. Mereka berjuang sekuat tenaga, tak heran beberapa orang menempuh ”jalan pintas” demi memperoleh status ”pegawai”, padahal di antara mereka ada memiliki usaha tergolong berhasil.

Itu tak lain karena budaya priyayi masih begitu kental menempatkan sosok pegawai sebagai pekerjaan terpandang. Tak heran entah guru, teman lama, atau calon mertua pasti akan bertanya soal pekerjaan ”bekerja di mana?”.

Melihat fenomena ini, esais terkenal, Jakob Sumardjo dalam sebuah artikelnya menyebut bahwa Indonesia memang negara pegawai. Ia memberikan sebuah perbandingan, mereka yang membuka usaha sendiri di rumah, meskipun sukses besar, cenderung menganggap dirinya ”tidak bekerja”. Untuk menutupi harga dirinya, ketika ditanya pekerjaan, umumnya berlindung dibalik profesi ”wiraswasta”, sebuah eufimisme untuk menutup nasib ”malang”-nya karena bukan seorang pegawai.

Padahal, usaha kecil yang ditopang jiwa entrepreneur (wirausaha) terbukti cukup tangguh menyangga ekonomi negeri ini dari kehancuran di saat krisis moneter. Mengingat fungsi strategisnya bagi ketahanan ekonomi nasional, upaya menanamkan jiwa entrepreneur sejak dini sangatlah penting untuk menciptakan generasi mandiri yang tangguh. Mentalitas entrepreneur menurut Bambang Suharno dalam buku best seller-nya ”Langkah Jitu Memulai Bisnis dari Nol” memiliki dua ciri, yaitu :
(a) jika mengeluarkan orang, sebagian uang yang keluar bisa kembali. Berbeda dengan orang bermental karyawan, ia akan membelanjakan uangnya untuk sesuatu yang tidak kembali;
(b) jika mengerjakan sesuatu, segera mencari penggantinya.

Artinya, seorang entrepeneur tak akan asyik berkutat pada pekerjaan teknis, ia segera mendelegasikan kepada orang kepercayaannya dan ia segera mencari peluang usaha baru.

Sayangnya, budaya pendidikan di Indonesia kurang mendukung pengembangan jiwa kewirausahaan sehingga menghambat pelajar untuk mengembangkan daya kreativitasnya. Kasubdindikmen Dikdik Jabar, Syarif Hidayat, Drs. M.Pd, (PR, 6/11) mengakui bahwa pengenalan keterampilan seperti entrepreneurship sangat diperlukan, namun perlu peran dari sekolahnya sendiri, karena kurikulum tidak melengkapi sekolah untuk memberikan pengenalan mengenai kewirausahaan atau kompetensi lain di luar pelajaran resmi.

Pihak sekolah diharapkan dapat menjembatani minat wirausaha siswa dengan membuat komunitas atau menghidupkan koperasi sekolah sebagai sarana melatih jiwa wirausaha siswa. Sebuah cara efektif membangkitkan minat wirausaha siswa direncanakan untuk mengundang entrepreneur sukses berbagi (sharring) pengalaman atau sebaliknya, siswa melakukan kunjungan ke lokasi industri rumah tangga yang berhasil. Pihak sekolah bisa juga memfasilitasi seperti menggelar acara bazar dalam rangka menyambut hari tertentu. Tujuannya memberi ruang untuk produk kreatif siswa seperti: kue-kue, makanan, kerajinan tangan, hasta-karya, dsb sekaligus tolok-ukur respons konsumen.

Pendidikan jiwa wirausaha di sekolah tidak selalu identik dengan berbisnis, namun lebih ditekankan dapat membentuk sikap seperti: pribadi mandiri, memiliki kecakapan hidup (life skill) dan melatih kepemimpinan (leadership) siswa di masa depan. Mandiri, siswa mendayagunakan potensi diri dan kreativitasnya untuk ”menghasilkan” minimal mencukupi kebutuhan dirinya sendiri. Siswa pun cakap mengelola keuangan berkaitan hal-hal produktif, termasuk menjadi konsumen yang ”pintar” tidak gampang terbujuk rayu iklan-iklan. Satu hal lagi mencetak seorang entrepreneur, bukan saja pemilik sekaligus direktur (pemimpin usaha).

Dengan jiwa entrepreneur, seorang sarjana tak harus selalu menunggu pengumuman CPNS atau lowongan perusahaan untuk memulai kiprahnya. Seorang entrepreneur akan memanfaatkan otak kreatifnya sebagai modal utama untuk memulai usaha. Memulai bisnis tak harus dengan modal besar. Seorang entrepreneur akan mengubah paradigma ”lulus mencari kerja” menjadi ”lulus mencipta kerja”.

Penulis, guru SDN Taruna Karya 4 Kota Bandung

MENCERMATI JAJANAN ANAK DI SEKOLAH, Pikiran Rakyat, Senin, 18 Januari 2010


Oleh: Ajeng Kania

Lima puluh murid SDN Cibeureum Hilir 1 Kota Sukabumi keracunan. Mereka diduga keracunan cilok saat jam istirahat berlangsung. Para murid mengeluh pusing dan mual dan disertai rasa mual hebat.” (“PR”, 13/1/2010)

Sudah menjadi hal lumrah, bila orang tua selalu memberi uang jajan kepada anaknya setiap hari. Jajanan di sekolah, semestinya dapat mengganjal rasa lapar dan haus selama di sekolah. Dengan asupan nutrisi, murid pun mendapat tambahan energi sehingga berkonsentrasi dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar (KBM).

Karena fungsi tersebut, asupan makanan berperan penting terhadap pertumbuhan dan prestasi belajar anak sekolah. Akan tetapi, keamanan jajanan tersebut baik dari segi mikrobiologis maupun kimiawi justru dipertanyakan sehingga ditakutkan bakal menuai masalah di kemudian hari. Seperti dilansir situs gizi.net, penelitian dilakukan di Jakarta baru-baru ini mengungkapkan bahwa jenis jajanan yang sering dikonsumsi oleh anak-anak sekolah adalah lontong, otak-otak, tahu goreng, mie bakso dengan saus, ketan uli, es sirop, dan cilok.

Berdasarkan uji lab, pada otak-otak dan bakso ditemukan borax, tahu goreng dan mie kuning basah ditemukan formalin, saus dan es sirop merah positif mengandung rhodamin B. Dampak pendeknya terasa pusing dan mual. Bahan-bahan ini bila terakumulasi pada tubuh dan bersifat karsinogenik memicu bahaya laten kanker dan tumor pada organ tubuh manusia. Efek karsinogenik juga ditimbulkan dari penggunaan minyak goreang bekas (jelantah) dipakai berkali-kali. Pendeknya, bila hal ini terus dibiarkan, generasi mendatang memanggul risiko persoalan kesehatan serius di masa depan.

Peningkatan perhatian kesehatan anak usia sekolah ini merupakan faktor penting dalam menciptakan peserta didik yang sehat, cerdas dan unggul. Untuk mengurangi dampak buruk, perlu dilakukan usaha promosi keamanan pangan baik kepada pihak sekolah, guru, orang tua, murid, serta pedagang. Pihak sekolah diharapkan dapat menggiatkan kembali unit berbasis kesehatan, semisal UKS (Usaha Kesehatan Sekolah), PMR atau dokter kecil. Kedua, pemberdayaan kantin sekolah sebagai parameter sekaligus pembelajaran dalam menyajikan jajanan bersih, sehat, dan bergizi. Dengan demikian, di kantin sekolah tidak dijumpai rokok, makanan kadaluarsa atau beralkohol, juga mengandung bahan berbahaya.

Ketiga, jika memungkinkan, pihak sekolah berkoordinasi dengan orang tua mengupayakan pemberian makanan (snack) selama di sekolah. Di bawah konsultasi dokter sekolah, langkah ini lebih menjamin aspek keamanan dan efesien dibanding anak jajan sembarangan di luar sekolah.

Di kelas, guru dapat memberikan penanaman nilai-nilai tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dalam kehidupan sehari-hari melalui pelajaran yang diampu. Nilai-nilai itu mencakup memelihara kebersihan diri dan lingkungan, pola makan sehat, risiko bahaya jajan sembarangan, dan sebagainya. Siswa diharapkan mendapat pemahaman tentang makanan sehat, meliputi aspek higienis dan komposisi gizi. Siswa juga mampu membedakan batas kadaluarsa produk makanan.

Adapun orang tua sebaiknya membiasakan anak sarapan pagi sebelum ke sekolah. Sarapan pagi bagi anak usia sekolah sangat penting, karena waktu sekolah banyak aktivitas memerlukan stamina dan konsentrasi penuh, tentu membutuhkan energi dan kalori yang cukup. Anak-anak dapat pula dibekali makanan dari rumah. Ini lebih baik daripada selalu was was mengkhawatirkan tentang jajanan apa dikonsumsi anaknya hari itu. Dari jajanan ini pula, orang tua dapat mengajarkan anaknya berhemat, yakni menabung dari sebagian uang jajannya.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) seyogianya secara berkala melakukan sosialisasi, monitoring dan melakukan uji sampel terhadap jajanan anak di sekolah. Sosialisasi ini dapat memberi sejumlah informasi bagi para pedagang tentang bahan pangan yang higienis, pemrosesan hingga pengemasan, termasuk pengetahuan tentang bahan kimia dilarang bagi pangan dan dampak pengunaannya serta sanksi hukumnya. (**)

Penulis, Guru SDN Cibiru 5 Kota Bandung