Sabtu, 01 Mei 2010

MERINDUKAN TAYANGAN EDUKATIF BAGI SISWA, Pikiran Rakyat, Kamis (Kliwon), 22 Februari 2007

Oleh: Ajeng Kania

Sinetron ”Kiamat Sudah Dekat” (KSD) yang dibintangi Deddy Mizwar (sebagai Haji Romli) dan kawan-kawan seakan menjadi penawar kerinduan insan pendidikan di tengah minimnya tayangan sinetron televisi yang membawa pesan moral bagi pemirsanya.


Layar kaca, bagaimana pun, harus membawa pesan moral, sarat nilai edukatif, bersifat konstruktif, dan memberi nilai keteladanan bagi para pemirsa yang didalamnya adalah para siswa. KSD membuktikan, selain menampilkan hiburan juga penuh keteladanan sekaligus memberi pesan perlunya perjuangan meraih cita-cita.

Media televisi mempunyai fungsi sebagai sumber informasi, ilmu pengetahuan, dan sarana hiburan. melihat program televisi sekarang ini, terdapat beberapa tayangan yang membuat hati kita jadi miris. Bagi kalangan siswa, alih-alih mengambil nilai positif dan edukatif, mereka malah ikut hanyut terbawa arus mengikuti gaya hidup tokoh-tokoh sinetron yang cenderung mengekspos kekerasan, sensualitas dan sikap serba materi.

Tak dapat disangkal, tayangan kriminal membuat perut mual dengan suguhan gambar sosok mayat bersimbah darah, mutilasi, dendam, dan perampokan, menjadi santapan sehari-hari. Tren tema sinetron sekarang banyak berkutat pada eksploitasi bentuk kemewahan, perselingkuhan, perebutan harta warisan, dan menjual kehidupan dunia mimpi dalam memanjakan pemirsanya, namun memprihatinkan secara substansi dan nilai. Eksploitasi fenomena gaib dan takhayul pun kian marak, dikhawatirkan mengikis akidah. Semua mengharuskan siswa selektif memilih tayangan televisi.

Keprihatinan lainnya, tema-tema sinetron mengambil latar suasana di sekolah dengan peran siswa berseragam SMP/SMA atau peran guru, aspek yang ditonjolkan bukan unsur-unsur pendidikan seperti: suasana akademik, perjuangan meraih prestasi, motivasi belajar, atau figur keteladanan. Melainkan justru perilaku dan gaya kehidupan siswa ala selebriti yang dominan soal ngerumpi di kelas, ngegosip di kantin, hura-hura, atau pesta pora. Begitu pun adegan kurang santun, seperti sikap siswa menertawakan guru, tidak hormat, belajar penuh canda, seragam siswi yang ketat, rok mini, merokok atau pesta di ruang kelas, dapat memberi pengaruh negatif terhadap siswa-siswi selaku pemirsa di rumah.

Media Televisi secara efektif dapat memengaruhi pemirsanya hingga pelosok daerah. Begitu hebat pengaruhnya, barang-barang baru saja dipromosikan (launching) lewat televisi, selang berapa hari sudah dikonsumsi remaja di pelosok daerah sekali pun. Begitu juga tata susila, perilaku, model fashion, aksesori, dan gaya hidup yang diperankan tokoh secara cepat diadopsi kalangan siswa. Celakanya, tanpa informasi yang benar, siswa-siswi menjadi korban negatif tayangan itu, seperti pergaulan bebas, aborsi, hura-hura, dan pecandu narkoba.

Tayangan televisi mampu menembus batas-batas wilayah tanpa membedakan status, golongan dan usia. Sungguh ironis, murid-murid maupun anak pra-sekolah menjadi bagian pemirsa televisi dibiarkan melahap acara-acara bukan peruntukkannya. Padahal mereka terlalu lugu untuk membedakan baik-buruknya acara tersebut. Lebih parah lagi, sikap orang tua yang serba praktis, memercayakan sepenuhnya kepada acara televisi sebagai ”ibu asuh” agar anak tidak bermain jauh.

Sikap masa bodoh orang tua membahayakan anak, karena tayangan televisi sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak kelak. tentunya, perhatian dan sikap bijaksana orang tua dibutuhkan dalam mendampingi sekaligus menjelaskan perihal gambar-gambar di televisi yang belum dapat dicerna daya nalar anak.

Mata acara program televisi hendaknya tak sekadar mengerjar rating belaka. Pengelola stasiun televisi harus mempunyai tanggung jawab moral terhadap ekses-ekses negatif yang ditimbulkan akibat penayangan acara itu. Tayangan berkualitas rendah dibungkus pemanis pornografi dan derasnya pengaruh buruk budaya Barat dapat menggerus norma, kepribadian, dan idealisme kalangan siswa. Kemerosotan akhlak dan moral generasi penerus dapat menjadi potret buram wajah bangsa untuk menghancurkan identitas dan budaya bangsa. ***

Penulis,
guru kelas SDN Taruna Karya 04 Kec. Cibiru, Bandung
v

Tidak ada komentar:

Posting Komentar